cerita lucu orang bugis
wajo...... Alkisah, pada suatu
kampung ada seorang
janda yang mempunyai
seorang anak laki-laki yang
sangat bodoh. Suatu saat,
karena merasa sudah dewasa, secara tiba-tiba
anak itu ingin mempunyai
isteri. Keinginan itu
disampaikan kepada
ibunya, “Ibu, ibu, saya
sudah ingin beristeri.” Berkatalah ibunya, “Carilah.
Barang kali ada orang yang
menyukaimu!” Setelah mendapat restu dari
ibunya, si anak yang
bernama La Tongko-
tongko itu segera
berangkat mencari
seseorang yang mau diperisteri olehnya. Saat di
tengah jalan ia berjumpa
dengan seorang pejinjing
bila. Tanpa berbasa-basi lagi
La Tongko-tongko segera
berkata, “Pejinjing bila, saya akan memperisteri
engkau!” Mendengar kata-kata La
Tongko-tongko yang
kurang sopan itu, maka
marahlah si pejinjing bila.
Dilemparnya La Tongko-
tongko dengan bila-nya. La Tongko-tongko lalu lari
pulang, mengadu kepada
ibunya, “Ibu, tadi saya
berjumpa dengan pejinjing
bila. Tetapi, waktu saya
mengatakan akan memperisterinya, si
pejinjing bila marah dan
melemparkan bila-nya ke
arah saya.” “Memang setiap orang akan
marah kalau engkau
langsung berkata begitu,”
kata ibunya. Setelah diam
sejenak ibunya berkata
lagi, “Pergilah mencari lagi dan jangan sampai tidak
ada seseorang yang
menyukaimu!” Setelah itu, La Tongko-
tongko pergi lagi mencari
seseorang yang bersedia
dikawininya. Dan, sama
seperti pertemuannya
dengan pejinjing bila, di tengah jalan ia bertemu
dengan pejunjung belanga.
Saat berhadapan dengan si
pejunjung belanga, La
Tongko-tongko langsung
berkata, “Pejunjung Belanga, saya akan
memperisteri engkau!” Mendengar kata-kata La
Tongko-tongko itu,
marahlah si pejunjung
belanga, dan langsung
dilemparnya anak itu
dengan belanga. La Tongko- tongko pun lalu lari pulang,
mengadu lagi kepada
ibunya, “Ibu, tadi saya
berjumpa dengan
pejunjung belanga. Tetapi,
waktu saya mengatakan akan memperisterinya, si
pejunjung marah dan
melemparkan belanganya
ke arah saya.” Tanpa banyak berkata lagi,
ibunya segera menyuruh La
Tongko-tongko pergi lagi
mencari orang yang
bersedia untuk dikawini.
Kemudian La Tongko- tongko pergi ke arah barat
dari desanya, menuju
hutan. Saat sampai di
tengah hutan, ia melihat
ada orang mati tergeletak
di bawah sebuah pohon besar. Tampaknya orang
itu sengaja ditaruh di
tempat itu dan tidak
dikuburkan. Oleh karena La Tongko-
tongko bodohnya tidak
ketulungan, ia kemudian
mendekati mayat itu dan
bertanya, “Hei perempuan,
saya akan memperisterikan engkau!” Namun, setelah ditunggu
beberapa saat si mayat
tidak juga menyahut,
maka La Tongko-tongko
berkata lagi, “Hei
perempuan, sekali lagi saya berkata bahwa saya akan
memperisterikan engkau!” Karena tetap tidak
mendapat jawaban, maka
La Tongko-tongko berkata
lagi, “Sekali lagi saya
katakan saya akan
memperisterikan engkau! Dan, apabila engkau tidak
juga menyahut, berarti
engkau setuju untuk
kuperisteri.” Orang mati itu pun tetap
tidak menjawab, sehingga
La Tongko-tongko segera
mengangkatnya dan
membawanya pulang. Saat
sampai di depan rumahnya, ia segera berteriak
memanggil ibunya yang
saat itu sedang menumbuk
padi di belakang rumah:
“Ibu, ibu, saya sudah
mendapatkan isteri!” Si ibu yang merasa kurang
yakin kalau anaknya akan
secepat itu mendapatkan
isteri, segera berkata sambil
tetap menumbuk dan tidak
menyambut kedatangan anaknya, “Ya baguslah.
Sekarang bawa isterimu ke
kamar. Biarkan dia
istirahat!” Keesokan harinya, pagi-
pagi sekali ibu La Tongko-
tongko sudah bangun dan
segera memasak. Setelah
masakan siap, ia lalu
menuju kamar anaknya dan berkata, “La Tongko-
tongko, mari kita makan.
Ibu sudah menyiapkan
makanan untukmu.” La Tongko-tongko segera
keluar dari kamar dan
menjawab, “Kenapa hanya
aku, ibu? Apakah
menantumu tidak diberi
makan?” “Ya, ajaklah juga isterimu
untuk makan,” kata
ibunya. Anak itu pun beberapa kali
memanggilnya isterinya
untuk ikut makan. Namun,
karena orang mati itu tidak
juga menyahut, maka ibu
La Tongko-tongko pun menuju kamar
menantunya, hendak
membangunkannya. Dan,
setelah memasuki kamar
anaknya, sang ibu menjadi
sangat terkejut. Ternyata yang dibawa dan
diperisteri oleh anaknya itu
adalah sesosok tubuh yang
telah menjadi mayat dan
sudah mulai berbau busuk.
Sang ibu langsung berteriak kepada anaknya, “Kenapa
orang mati kau bawa ke
rumah. Bawalah dia ke luar
dan segeralah tanam.” “Kenapa ibu berkata kalau
dia sudah mati?” tanya La
Tongko-tongko. “Itu karena dia sudah
berbau busuk.” Jawab
ibunya “Jadi, kalau orang sudah
berbau busuk, itu tanda
kalau dia sudah mati?” Tanpa ingin berpanjang
lebar, ibunya segera
menjawab, “Ya. Cepatlah
kau bawa dia dan tanam
agak jauh dari rumah!” Dengan berat hati La
Tongko-tongko membawa
isterinya untuk dikubur di
sebuah tempat yang agak
jauh dari rumahnya.
Setelah selesai mengubur mayat isterinya, La
Tongko-tongko kembali
pulang ke rumahnya. Sampai di rumah La
Tongko-tongko langsung
makan bersama ibunya di
dapur. Pada waktu ia
sedang makan, ibunya
yang saat itu juga makan di depannya sambil
berjongkok tiba-tiba
kentut. La Tongko-tongko
mencium bau tidak sedap
yang dikeluarkan oleh
ibunya segera berteriak, “Wah, ibu sudah mati!” “Tidak Nak, tidak. Ibu
hanya kentut.” “Tidak. Ibu sudah mati. Ibu
sudah berbau busuk!” Setelah berkata seperti itu,
La Tongko-tongko
langsung mengangkat dan
membawa ibunya untuk
segera ditanam. Di tengah
jalan menuju tempat ia menguburkan isterinya,
ibunya tiba-tiba
melepaskan diri dan berlari
masuk ke hutan. La
Tongko-tongko tidak
mengejarnya, karena ia teringat kalau nasinya
belum dihabiskan. Ia
kemudian kembali pulang
untuk makan. Sesampai di rumah La
Tongko-tongko langsung
menuju dapur dan
meneruskan lagi
makannya. Saat sedang
makan itu, tiba-tiba perutnya sakit dan ia pun
kentut. Oleh karena dari
kemarin ia belum buang air,
maka kentutnya pun
berbau busuk. “Ah saya
sudah mati, saya sudah mati! Belum sempat saya
menyelesaikan makan,
saya sudah mati,” pikirnya. Terpaksa ia pergi mencari
tempat yang dirasa paling
nyaman untuk mengubur
dirinya. Setelah berkeliling
di sekitar kampungnya,
akhirnya ia menemukan sebuah pohon mangga
yang sangat rindang dan
banyak buahnya. Di bawah
pohon itu ia segera
membuat lubang kira-kira
sedalam lehernya. Selesai membuat lubang, La
Tongko-tongko langsung
masuk dan mengubur
dirinya hingga hanya
tinggal kepalanya saja
yang masih tersembul di permukaan tanah. Malam harinya, secara
kebetulan ada seorang
pencuri yang datang
mengendap-endap hendak
mencuri buah mangga.
Setelah dirasa aman, si pencuri lalu memanjat
pohon mangga itu. Sampai
di atas, ia kemudian
memetik buah mangga dan
memasukkannya ke dalam
karung. Namun karena terburu-buru, beberapa
buah mangga yang dipetik
itu jatuh ke tanah dan
mengenai kepala La
Tongko-tongko. “Beruntunglah engkau
mangga. Andaikata saya
belum mati, pasti akan saya
makan engkau,” kata La
Tongko-tongko. Mendengar ada suara di
bawahnya, si pencuri
menjadi terkejut. Ia
melihat ke bawah, namun
tidak seorang pun ada di
bawah pohon. Setelah diperhatikan dengan lebih
teliti lagi, akhirnya ia
melihat secara samar-samar
ada sebuah kepala
menyembul di atas tanah.
Si pencuri lalu turun mendekati kepala itu dan
berkata, “Siapakah
engkau?” “Saya La Tongko-tongko.
Saya sudah mati,” jawab La
Tongko-tongko. “Engkau belum mati,” kata
si pencuri. “Benar, saya sudah mati.
Tadi siang saya kentut dan
berbau busuk seperti orang
mati. Lalu saya
menguburkan diri di sini.” Pencuri bersuara lagi,
“Bodoh betul engkau ini.
Tidak salah kalau engkau
disebut La Tongko-Tongko,
engkau orang bodoh.” “Sudahlah. Pergilah engkau
dari sini. Orang yang masih
hidup tidak boleh berbicara
dengan orang mati,” kata
La Tongko-tongko. “Tidak, engkau belum mati.
Orang mati tidak dapat
berbicara. Lebih baik
engkau ikut dengan aku,”
kata pencuri itu sambil
menarik kepala La Tongko- tongko. Singkat cerita, setelah La
Tongko-tongko berhasil
dikeluarkan, maka mereka
pun segera pergi. Si pencuri
meninggalkan begitu saja
mangga yang telah dicurinya, sebab dengan
adanya bantuan dari La
Tongko-tongko, ia akan
mendapatkan hasil curian
yang lebih banyak lagi. Setibanya di perbatasan
suatu kampung, mereka
melihat sebuah kandang
kerbau yang letaknya di
dekat sebuah rumah.
Berkatalah si pencuri, “Eh Tongko-tongko, bukalah
pintu kandang kerbau itu.” La Tongko-Tongko lalu
berjalan ke arah kandang
dan membuka pintunya.
Setelah itu dikeluarkannya
seekor anak kerbau untuk
selanjutnya diserahkan pada si pencuri yang berada
agak jauh dari kandang.
Kemudian ia masuk lagi ke
kandang untuk mengambil
induknya. Setelah ia
mengeluarkan induknya yang hitam dan sangat
besar, ia kemudian
berteriak kegirangan,
“Bagian saya yang hitam,
bagian saya yang hitam!” Menyahutlah pencuri itu,
“Jangan berteriak. Nanti
bangun yang empunya
rumah!” “Apa? Bagian saya tetap
yang hitam ini,” kata La
Tongko-tongko sambil
berteriak karena ia mengira
bahwa si pencuri hendak
memiliki induk kerbau yang sedang ditariknya. Mendengar teriakan La
Tongko-tongko itu, maka
bangunlah si pemilik
kerbau. Ia segera keluar
dari rumahnya dan
kemudian berteriak, “Pencuri! Ada Pencuri!” Melihat si pemilik kerbau
sudah keluar dari
rumahnya, si pencuri
menjadi takut. Ia segera
kabur meninggalkan La
Tongko-tongko dan anak kerbau yang dipegangnya.
Tetapi karena terlalu
bodoh, La Tongko-tongko
tidak beranjak dari
tempatnya. Ia tetap
memegangi tali kekang induk kerbau itu. La Tongko-tongko
kemudian ditangkap oleh si
pemilik rumah. Si pemilik
rumah lalu bertanya,
“Mengapa engkau hendak
membawa kerbauku?” “Kami hendak mencuri
kerbau,” jawab La Tongko-
tongko. Mendengar penjelasan itu, si
pemilik rumah menjadi
sadar bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang
yang bodoh, sehingga ia
berkata, “Engkau betul- betul orang yang bodoh
tetapi menguntungkan.
Andaikata engkau tidak
berteriak habis semua
kerbau kami.” Dan, karena si pemilik
merasa kasihan, maka ia
pun berkata lagi, “Ya
sudahlah. Karena engkau
sangat bodoh, saya akan
melepaskanmu. Sudah pergi sana!” Beberapa hari kemudian, si
pencuri bertemu lagi
dengan La Tongko-tongko.
Katanya, “Kenapa engkau
berteriak sampai bangun
yang empunya rumah?” “Saya ingin mengambil
kerbau yang hitam itu,”
jawab La Tongko-tongko. “Dasar orang bodoh! Begini
saja, nanti malam kita
mencuri lagi di kampung
sebelah. Nanti tengah
malam aku tunggu di sini,”
kata si pencuri. “Ya, baiklah. Nanti malam
aku datang.” Pada saat tengah malam,
mereka pun berkumpul di
tempat mereka tadi sore
berjumpa. Selanjutnya
mereka berjalan menuju ke
sebuah kampung yang letaknya bersebelahan
dengan kampung La
Tongko-tongko. Di kampung itu ada sebuah
rumah yang letaknya agak
terpencil dari rumah yang
lain. Rumah itu dihuni oleh
dua orang perempuan dan
seorang laki-laki tua. Kebetulan tadi sore, si laki-
laki tua itu meninggal
secara mendadak. Oleh
kerana mereka malas
untuk menguburkannya,
maka perempuan yang lebih tua berkata,
“Masukkan saja mayat itu
ke dalam karung lalu isi
dengan pecahan kaca dan
taruh di beranda. Nanti
pasti akan diambil kalau ada pecuri yang lewat.” Pada saat telah berada di
perbatasan kampung, si
pencuri melihat ada rumah
yang letaknya agak
terpencil dari rumah-rumah
yang lain. Ia dan La Tongko-tongko lalu
menuju ke rumah itu.
Setelah sampai di depan
pagar rumah, ia berkata,
“Naiklah ke beranda
Tongko. Di situ aku lihat ada karung. Engkau
goncang-goncangkanlah,
kalau berbunyi bawalah
karung itu ke sini.” La Tongko-tongko segera
naik ke beranda rumah dan
menggoncang-goncangkan
karung itu. Oleh karena di
dalam karung berisi
pecahan kaca, maka ketika digoncangkan karung
berbunyi berisik seperti
uang ringgit. La Tongko-
tongko kemudian
menyerahkan karung itu
pada si pencuri. Si pencuri yang berniat
tidak akan membagi harta
itu, lalu menyuruh La
Tongko-tongko kembali
lagi ke beranda rumah
untuk mengawasi kalau- kalau si penghuni
terbangun. Sementara si
pencuri sendiri terus kabur
membawa karung yang
disangkanya uang ringgit
itu. Sewaktu La Tongko-
tongko telah berada lagi di
serambi, ia mendengar
suara orang berbisik di
dalam rumah. Rupanya
aktivitas mereka dari tadi sudah diketahui oleh si
pemilik rumah. La Tongko-
tongko mendengar salah
satu perempuan itu
berbisik, “Orang mati yang
kita masukkan ke dalam karung itu sudah diambil
pencuri.”
ni saya dapat dari blog
kawan facebook saya..sia
baca terbahak bahak
jugaklah saya baca... cerita ini adalah cerita
rakyat...seperti cerita si
penglipur lara...lebih
kurang cerita pak
pandir...mari baca.. Mendengar perkataan salah
seorang perempuan itu, La
Tongko-tongko langsung
berlari menyusul si pencuri.
Setelah jarak mereka agak
dekat, ia lalu berteriak, “Eh, buang karung itu. Hanya
orang mati itu, hanya
orang mati itu!” Mendengar kata-kata La
Tongko-tongko, si pencuri
malah makin kencang
larinya. Ia mengira La
Tongko-tongko
mengatakan, “Cepat, cepat, kita sudah mati, kita sudah
mati!” Ia mengira kalau La
Tongko-Tongko sudah
ketahuan dan sedang
dikejar oleh penduduk
kampung. Melihat si pencuri
bertambah kencang
larinya, La Tongko-tongko
pun mempercepat larinya
sambil berteriak-teriak,
“Buang. Orang mati itu! Orang mati itu!” Mereka pun berkejaran di
tengah malam sampai
akhirnya semua merasa
letih. Si pencuri lalu duduk
di pinggir jalan sambil
menanti kedatangan La Tongko-tongko. Pada
akhirnya ia didapati oleh La
Tongko-Tongko.
Berkatalah La Tongko-
Tongko, “Mengapa engkau
selalu lari?” “Engkau yang
mengatakan, cepatlah lari,
kita saudah mati.
Akibatnya kita selalu lari.
Mana orang-orang yang
mengejarmu?” “Tidak ada orang yang
mengejar saya. Saya hanya
berkata, buang karung itu.
Isinya hanya orang mati,”
kata La Tongko-tongko. Si pencuri yang tidak
percaya dengan kata-kata
La Tongko-tongko, lalu
membuka karung yang
selama ini dibawanya. Dan,
setelah dibuka ternyata isinya memang hanya
sesosok mayat yang
dicampur dengan pecahan
kaca. Si pencuri kemudian
membuang karung itu
begitu saja di tepi jalan dan segera berkata kepada La
Tongko-tongko, “Sudahlah.
Lebih baik kita berpisah
saja. Aku selalu saja sial
jika pergi bersamamu.” Demikianlah, akhirnya
kedua orang itu pun
berpisah. Si pencuri pergi ke
arah barat, sementara La
Tongko-tongko ke arah
Selatan, pulang ke rumahnya. Sejak itu
mereka tidak pernah
berjumpa lagi.
wajo...... Alkisah, pada suatu
kampung ada seorang
janda yang mempunyai
seorang anak laki-laki yang
sangat bodoh. Suatu saat,
karena merasa sudah dewasa, secara tiba-tiba
anak itu ingin mempunyai
isteri. Keinginan itu
disampaikan kepada
ibunya, “Ibu, ibu, saya
sudah ingin beristeri.” Berkatalah ibunya, “Carilah.
Barang kali ada orang yang
menyukaimu!” Setelah mendapat restu dari
ibunya, si anak yang
bernama La Tongko-
tongko itu segera
berangkat mencari
seseorang yang mau diperisteri olehnya. Saat di
tengah jalan ia berjumpa
dengan seorang pejinjing
bila. Tanpa berbasa-basi lagi
La Tongko-tongko segera
berkata, “Pejinjing bila, saya akan memperisteri
engkau!” Mendengar kata-kata La
Tongko-tongko yang
kurang sopan itu, maka
marahlah si pejinjing bila.
Dilemparnya La Tongko-
tongko dengan bila-nya. La Tongko-tongko lalu lari
pulang, mengadu kepada
ibunya, “Ibu, tadi saya
berjumpa dengan pejinjing
bila. Tetapi, waktu saya
mengatakan akan memperisterinya, si
pejinjing bila marah dan
melemparkan bila-nya ke
arah saya.” “Memang setiap orang akan
marah kalau engkau
langsung berkata begitu,”
kata ibunya. Setelah diam
sejenak ibunya berkata
lagi, “Pergilah mencari lagi dan jangan sampai tidak
ada seseorang yang
menyukaimu!” Setelah itu, La Tongko-
tongko pergi lagi mencari
seseorang yang bersedia
dikawininya. Dan, sama
seperti pertemuannya
dengan pejinjing bila, di tengah jalan ia bertemu
dengan pejunjung belanga.
Saat berhadapan dengan si
pejunjung belanga, La
Tongko-tongko langsung
berkata, “Pejunjung Belanga, saya akan
memperisteri engkau!” Mendengar kata-kata La
Tongko-tongko itu,
marahlah si pejunjung
belanga, dan langsung
dilemparnya anak itu
dengan belanga. La Tongko- tongko pun lalu lari pulang,
mengadu lagi kepada
ibunya, “Ibu, tadi saya
berjumpa dengan
pejunjung belanga. Tetapi,
waktu saya mengatakan akan memperisterinya, si
pejunjung marah dan
melemparkan belanganya
ke arah saya.” Tanpa banyak berkata lagi,
ibunya segera menyuruh La
Tongko-tongko pergi lagi
mencari orang yang
bersedia untuk dikawini.
Kemudian La Tongko- tongko pergi ke arah barat
dari desanya, menuju
hutan. Saat sampai di
tengah hutan, ia melihat
ada orang mati tergeletak
di bawah sebuah pohon besar. Tampaknya orang
itu sengaja ditaruh di
tempat itu dan tidak
dikuburkan. Oleh karena La Tongko-
tongko bodohnya tidak
ketulungan, ia kemudian
mendekati mayat itu dan
bertanya, “Hei perempuan,
saya akan memperisterikan engkau!” Namun, setelah ditunggu
beberapa saat si mayat
tidak juga menyahut,
maka La Tongko-tongko
berkata lagi, “Hei
perempuan, sekali lagi saya berkata bahwa saya akan
memperisterikan engkau!” Karena tetap tidak
mendapat jawaban, maka
La Tongko-tongko berkata
lagi, “Sekali lagi saya
katakan saya akan
memperisterikan engkau! Dan, apabila engkau tidak
juga menyahut, berarti
engkau setuju untuk
kuperisteri.” Orang mati itu pun tetap
tidak menjawab, sehingga
La Tongko-tongko segera
mengangkatnya dan
membawanya pulang. Saat
sampai di depan rumahnya, ia segera berteriak
memanggil ibunya yang
saat itu sedang menumbuk
padi di belakang rumah:
“Ibu, ibu, saya sudah
mendapatkan isteri!” Si ibu yang merasa kurang
yakin kalau anaknya akan
secepat itu mendapatkan
isteri, segera berkata sambil
tetap menumbuk dan tidak
menyambut kedatangan anaknya, “Ya baguslah.
Sekarang bawa isterimu ke
kamar. Biarkan dia
istirahat!” Keesokan harinya, pagi-
pagi sekali ibu La Tongko-
tongko sudah bangun dan
segera memasak. Setelah
masakan siap, ia lalu
menuju kamar anaknya dan berkata, “La Tongko-
tongko, mari kita makan.
Ibu sudah menyiapkan
makanan untukmu.” La Tongko-tongko segera
keluar dari kamar dan
menjawab, “Kenapa hanya
aku, ibu? Apakah
menantumu tidak diberi
makan?” “Ya, ajaklah juga isterimu
untuk makan,” kata
ibunya. Anak itu pun beberapa kali
memanggilnya isterinya
untuk ikut makan. Namun,
karena orang mati itu tidak
juga menyahut, maka ibu
La Tongko-tongko pun menuju kamar
menantunya, hendak
membangunkannya. Dan,
setelah memasuki kamar
anaknya, sang ibu menjadi
sangat terkejut. Ternyata yang dibawa dan
diperisteri oleh anaknya itu
adalah sesosok tubuh yang
telah menjadi mayat dan
sudah mulai berbau busuk.
Sang ibu langsung berteriak kepada anaknya, “Kenapa
orang mati kau bawa ke
rumah. Bawalah dia ke luar
dan segeralah tanam.” “Kenapa ibu berkata kalau
dia sudah mati?” tanya La
Tongko-tongko. “Itu karena dia sudah
berbau busuk.” Jawab
ibunya “Jadi, kalau orang sudah
berbau busuk, itu tanda
kalau dia sudah mati?” Tanpa ingin berpanjang
lebar, ibunya segera
menjawab, “Ya. Cepatlah
kau bawa dia dan tanam
agak jauh dari rumah!” Dengan berat hati La
Tongko-tongko membawa
isterinya untuk dikubur di
sebuah tempat yang agak
jauh dari rumahnya.
Setelah selesai mengubur mayat isterinya, La
Tongko-tongko kembali
pulang ke rumahnya. Sampai di rumah La
Tongko-tongko langsung
makan bersama ibunya di
dapur. Pada waktu ia
sedang makan, ibunya
yang saat itu juga makan di depannya sambil
berjongkok tiba-tiba
kentut. La Tongko-tongko
mencium bau tidak sedap
yang dikeluarkan oleh
ibunya segera berteriak, “Wah, ibu sudah mati!” “Tidak Nak, tidak. Ibu
hanya kentut.” “Tidak. Ibu sudah mati. Ibu
sudah berbau busuk!” Setelah berkata seperti itu,
La Tongko-tongko
langsung mengangkat dan
membawa ibunya untuk
segera ditanam. Di tengah
jalan menuju tempat ia menguburkan isterinya,
ibunya tiba-tiba
melepaskan diri dan berlari
masuk ke hutan. La
Tongko-tongko tidak
mengejarnya, karena ia teringat kalau nasinya
belum dihabiskan. Ia
kemudian kembali pulang
untuk makan. Sesampai di rumah La
Tongko-tongko langsung
menuju dapur dan
meneruskan lagi
makannya. Saat sedang
makan itu, tiba-tiba perutnya sakit dan ia pun
kentut. Oleh karena dari
kemarin ia belum buang air,
maka kentutnya pun
berbau busuk. “Ah saya
sudah mati, saya sudah mati! Belum sempat saya
menyelesaikan makan,
saya sudah mati,” pikirnya. Terpaksa ia pergi mencari
tempat yang dirasa paling
nyaman untuk mengubur
dirinya. Setelah berkeliling
di sekitar kampungnya,
akhirnya ia menemukan sebuah pohon mangga
yang sangat rindang dan
banyak buahnya. Di bawah
pohon itu ia segera
membuat lubang kira-kira
sedalam lehernya. Selesai membuat lubang, La
Tongko-tongko langsung
masuk dan mengubur
dirinya hingga hanya
tinggal kepalanya saja
yang masih tersembul di permukaan tanah. Malam harinya, secara
kebetulan ada seorang
pencuri yang datang
mengendap-endap hendak
mencuri buah mangga.
Setelah dirasa aman, si pencuri lalu memanjat
pohon mangga itu. Sampai
di atas, ia kemudian
memetik buah mangga dan
memasukkannya ke dalam
karung. Namun karena terburu-buru, beberapa
buah mangga yang dipetik
itu jatuh ke tanah dan
mengenai kepala La
Tongko-tongko. “Beruntunglah engkau
mangga. Andaikata saya
belum mati, pasti akan saya
makan engkau,” kata La
Tongko-tongko. Mendengar ada suara di
bawahnya, si pencuri
menjadi terkejut. Ia
melihat ke bawah, namun
tidak seorang pun ada di
bawah pohon. Setelah diperhatikan dengan lebih
teliti lagi, akhirnya ia
melihat secara samar-samar
ada sebuah kepala
menyembul di atas tanah.
Si pencuri lalu turun mendekati kepala itu dan
berkata, “Siapakah
engkau?” “Saya La Tongko-tongko.
Saya sudah mati,” jawab La
Tongko-tongko. “Engkau belum mati,” kata
si pencuri. “Benar, saya sudah mati.
Tadi siang saya kentut dan
berbau busuk seperti orang
mati. Lalu saya
menguburkan diri di sini.” Pencuri bersuara lagi,
“Bodoh betul engkau ini.
Tidak salah kalau engkau
disebut La Tongko-Tongko,
engkau orang bodoh.” “Sudahlah. Pergilah engkau
dari sini. Orang yang masih
hidup tidak boleh berbicara
dengan orang mati,” kata
La Tongko-tongko. “Tidak, engkau belum mati.
Orang mati tidak dapat
berbicara. Lebih baik
engkau ikut dengan aku,”
kata pencuri itu sambil
menarik kepala La Tongko- tongko. Singkat cerita, setelah La
Tongko-tongko berhasil
dikeluarkan, maka mereka
pun segera pergi. Si pencuri
meninggalkan begitu saja
mangga yang telah dicurinya, sebab dengan
adanya bantuan dari La
Tongko-tongko, ia akan
mendapatkan hasil curian
yang lebih banyak lagi. Setibanya di perbatasan
suatu kampung, mereka
melihat sebuah kandang
kerbau yang letaknya di
dekat sebuah rumah.
Berkatalah si pencuri, “Eh Tongko-tongko, bukalah
pintu kandang kerbau itu.” La Tongko-Tongko lalu
berjalan ke arah kandang
dan membuka pintunya.
Setelah itu dikeluarkannya
seekor anak kerbau untuk
selanjutnya diserahkan pada si pencuri yang berada
agak jauh dari kandang.
Kemudian ia masuk lagi ke
kandang untuk mengambil
induknya. Setelah ia
mengeluarkan induknya yang hitam dan sangat
besar, ia kemudian
berteriak kegirangan,
“Bagian saya yang hitam,
bagian saya yang hitam!” Menyahutlah pencuri itu,
“Jangan berteriak. Nanti
bangun yang empunya
rumah!” “Apa? Bagian saya tetap
yang hitam ini,” kata La
Tongko-tongko sambil
berteriak karena ia mengira
bahwa si pencuri hendak
memiliki induk kerbau yang sedang ditariknya. Mendengar teriakan La
Tongko-tongko itu, maka
bangunlah si pemilik
kerbau. Ia segera keluar
dari rumahnya dan
kemudian berteriak, “Pencuri! Ada Pencuri!” Melihat si pemilik kerbau
sudah keluar dari
rumahnya, si pencuri
menjadi takut. Ia segera
kabur meninggalkan La
Tongko-tongko dan anak kerbau yang dipegangnya.
Tetapi karena terlalu
bodoh, La Tongko-tongko
tidak beranjak dari
tempatnya. Ia tetap
memegangi tali kekang induk kerbau itu. La Tongko-tongko
kemudian ditangkap oleh si
pemilik rumah. Si pemilik
rumah lalu bertanya,
“Mengapa engkau hendak
membawa kerbauku?” “Kami hendak mencuri
kerbau,” jawab La Tongko-
tongko. Mendengar penjelasan itu, si
pemilik rumah menjadi
sadar bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang
yang bodoh, sehingga ia
berkata, “Engkau betul- betul orang yang bodoh
tetapi menguntungkan.
Andaikata engkau tidak
berteriak habis semua
kerbau kami.” Dan, karena si pemilik
merasa kasihan, maka ia
pun berkata lagi, “Ya
sudahlah. Karena engkau
sangat bodoh, saya akan
melepaskanmu. Sudah pergi sana!” Beberapa hari kemudian, si
pencuri bertemu lagi
dengan La Tongko-tongko.
Katanya, “Kenapa engkau
berteriak sampai bangun
yang empunya rumah?” “Saya ingin mengambil
kerbau yang hitam itu,”
jawab La Tongko-tongko. “Dasar orang bodoh! Begini
saja, nanti malam kita
mencuri lagi di kampung
sebelah. Nanti tengah
malam aku tunggu di sini,”
kata si pencuri. “Ya, baiklah. Nanti malam
aku datang.” Pada saat tengah malam,
mereka pun berkumpul di
tempat mereka tadi sore
berjumpa. Selanjutnya
mereka berjalan menuju ke
sebuah kampung yang letaknya bersebelahan
dengan kampung La
Tongko-tongko. Di kampung itu ada sebuah
rumah yang letaknya agak
terpencil dari rumah yang
lain. Rumah itu dihuni oleh
dua orang perempuan dan
seorang laki-laki tua. Kebetulan tadi sore, si laki-
laki tua itu meninggal
secara mendadak. Oleh
kerana mereka malas
untuk menguburkannya,
maka perempuan yang lebih tua berkata,
“Masukkan saja mayat itu
ke dalam karung lalu isi
dengan pecahan kaca dan
taruh di beranda. Nanti
pasti akan diambil kalau ada pecuri yang lewat.” Pada saat telah berada di
perbatasan kampung, si
pencuri melihat ada rumah
yang letaknya agak
terpencil dari rumah-rumah
yang lain. Ia dan La Tongko-tongko lalu
menuju ke rumah itu.
Setelah sampai di depan
pagar rumah, ia berkata,
“Naiklah ke beranda
Tongko. Di situ aku lihat ada karung. Engkau
goncang-goncangkanlah,
kalau berbunyi bawalah
karung itu ke sini.” La Tongko-tongko segera
naik ke beranda rumah dan
menggoncang-goncangkan
karung itu. Oleh karena di
dalam karung berisi
pecahan kaca, maka ketika digoncangkan karung
berbunyi berisik seperti
uang ringgit. La Tongko-
tongko kemudian
menyerahkan karung itu
pada si pencuri. Si pencuri yang berniat
tidak akan membagi harta
itu, lalu menyuruh La
Tongko-tongko kembali
lagi ke beranda rumah
untuk mengawasi kalau- kalau si penghuni
terbangun. Sementara si
pencuri sendiri terus kabur
membawa karung yang
disangkanya uang ringgit
itu. Sewaktu La Tongko-
tongko telah berada lagi di
serambi, ia mendengar
suara orang berbisik di
dalam rumah. Rupanya
aktivitas mereka dari tadi sudah diketahui oleh si
pemilik rumah. La Tongko-
tongko mendengar salah
satu perempuan itu
berbisik, “Orang mati yang
kita masukkan ke dalam karung itu sudah diambil
pencuri.”
ni saya dapat dari blog
kawan facebook saya..sia
baca terbahak bahak
jugaklah saya baca... cerita ini adalah cerita
rakyat...seperti cerita si
penglipur lara...lebih
kurang cerita pak
pandir...mari baca.. Mendengar perkataan salah
seorang perempuan itu, La
Tongko-tongko langsung
berlari menyusul si pencuri.
Setelah jarak mereka agak
dekat, ia lalu berteriak, “Eh, buang karung itu. Hanya
orang mati itu, hanya
orang mati itu!” Mendengar kata-kata La
Tongko-tongko, si pencuri
malah makin kencang
larinya. Ia mengira La
Tongko-tongko
mengatakan, “Cepat, cepat, kita sudah mati, kita sudah
mati!” Ia mengira kalau La
Tongko-Tongko sudah
ketahuan dan sedang
dikejar oleh penduduk
kampung. Melihat si pencuri
bertambah kencang
larinya, La Tongko-tongko
pun mempercepat larinya
sambil berteriak-teriak,
“Buang. Orang mati itu! Orang mati itu!” Mereka pun berkejaran di
tengah malam sampai
akhirnya semua merasa
letih. Si pencuri lalu duduk
di pinggir jalan sambil
menanti kedatangan La Tongko-tongko. Pada
akhirnya ia didapati oleh La
Tongko-Tongko.
Berkatalah La Tongko-
Tongko, “Mengapa engkau
selalu lari?” “Engkau yang
mengatakan, cepatlah lari,
kita saudah mati.
Akibatnya kita selalu lari.
Mana orang-orang yang
mengejarmu?” “Tidak ada orang yang
mengejar saya. Saya hanya
berkata, buang karung itu.
Isinya hanya orang mati,”
kata La Tongko-tongko. Si pencuri yang tidak
percaya dengan kata-kata
La Tongko-tongko, lalu
membuka karung yang
selama ini dibawanya. Dan,
setelah dibuka ternyata isinya memang hanya
sesosok mayat yang
dicampur dengan pecahan
kaca. Si pencuri kemudian
membuang karung itu
begitu saja di tepi jalan dan segera berkata kepada La
Tongko-tongko, “Sudahlah.
Lebih baik kita berpisah
saja. Aku selalu saja sial
jika pergi bersamamu.” Demikianlah, akhirnya
kedua orang itu pun
berpisah. Si pencuri pergi ke
arah barat, sementara La
Tongko-tongko ke arah
Selatan, pulang ke rumahnya. Sejak itu
mereka tidak pernah
berjumpa lagi.